Jumat, 31 Juli 2015

Hikmah Puasa[ku]

Ada anak bertanya pada bapaknya
Buat apa berlapar-lapar puasa...

dan jawaban bijak sang Bapak

Lapar mengajakmu rendah hati selalu...

Rasa kemanusiaanku mulai terusik di hari-hari terakhir puasa Syawal tahun ini. Entah awalnya dari mana tiba-tiba saja gambar manusia manusia kelaparan menari nari di benakku. Di Ethiopia dan entah dari negara mana manusia manusia itu berasal, sebagian besarnya memang berkulit hitam dengan latar pemandangan tanah yang tandus, kering, berdebu dan air yang jauh dari layak minum. Bocah bocah dekil dengan ingus dan luka "borok" di kulitnya. Ada juga gambar seorang balita kurus kering dengan perut buncit di gendongan seorang ibu yang terlihat menangis dan ya kurus juga. 


Oo.. Rabbi... betapa sedikit sekali hamba bersyukur. Astaghfirullah.

Ketika menjelang berbuka yang sibuk kupikirkan adalah menu apa yang enak untuk kusantap, sementara di belahan bumi yang lain mereka tak punya pilihan kecuali tetap dalam keadaan puasa. 

Di siang hari itu, di barisan shaff shalat dhuhur airmataku tak mampu lagi kubendung. Ia meluncur bebas tanpa sanggup kuhentikan. Gambar-gambar itu terus berputar di kepalaku dan menambah sakit di ulu hatiku semakin perih. Sakit yang berasal dari kesadaran betapa sedikit sekali aku bersyukur. Betapa seringkali aku berlebihan dalam memuaskan nafsu perutku. #Astaghfirullah

Lantas, doa pun mengalir untuk mereka yang tengah dilanda kelaparan juga berbagai kesulitan yang disebabkan oleh kerakusan sebagian manusia lainnya, di sana, di belahan bumi yang jauh juga yang dekat. 

Benarlah kiranya nasihat dari sepotong lagu di atas, bahwa puasa membuat kita rendah hati. 

Semoga hal ini adalah juga pertanda hatiku kian lembut. Aamiin.