Kamis, 17 Maret 2016

#Tentang Rasa

Shalat maghrib berjamaah telah selesai 10 menit yang lalu di mesjid kampus itu. Seorang gadis terburu buru memasuki mesjid. Hatinya bersyukur melihat ada satu orang lelaki yang tengah shalat, tak akan ia sia-sia kan meraup pahala 27 derajat. Meski sempat ragu, tapi kehadiran seorang lelaki lain yang mendekati lelaki pertama meyakinkannya bahwa mereka tengah shalat wajib. Alhamdulillah.


"Terimakasih Allah, masih memberiku kesempatan untuk shalat berjamaah meski harus masbuk." pikirnya.

Ia menunggu sampai sang imam bangkit dari sujud keduanya. Ia pun lalu bertakbir.


Bacaan fatihah sang imam sangat merdu, terlebih sang imam melanjutkan bacaannya dengan ayat-ayat awal surat Al Mu'minun, makin meleleh-lah hatinya. Air matanya tak mampu terbendung lagi. Ia menangis tersedu sedan. Betapa lelah yang ia rasakan hari ini menguap dengan bacaan syahdu sang imam. Teringat betapa selama ini shalatnya belum termasuk khusyu', betapa masih banyak ke-sia-sia-an yang ia lakukan, betapa amanahnya sebagai mahasiswi juga seorang kader organisasi da'wah yang tengah ia pikul masih jauh dari sempurna tertunaikan. Hatinya mengadu pada Allah. Memohon ampun. Air matanya berderai terus menerus seiring bacaan surat sang imam.

selang beberapa lama.

Sang imam mengucap salam, namun ia kembali bangkit untuk menyempurnakan satu rakaat yang tertinggal diawal.

Sang gadis tak menyadari, momen ketika ia menangis itu cukup membuat sang imam bertanya-tanya tentang siapa ma'mum perempuannya. Mungkin karena jarak yang tak terlalu jauh, dengan suasana yang lebih lengang membuat isak tangisnya terdengar jelas. Dengan terus melantunkan dzikir ba'da shalat lelaki itu mencoba menahan hasrat untuk melirik ke arah perempuan yang menjadi ma'mumnya.

Di rakaat terakhir, emosi gadis itu semakin mereda. Tak ada lagi isak tangis. Ia pun khusyu' melantunkan doa setelah salam. Entahlah, tiba tiba saja terbersit dalam doanya. Indah kiranya memiliki seorang imam dalam rumah tangga yang selain merdu suaranya juga begitu fasih bacaan quránnya, seperti yang barusan menjadi imamnya.

Hatinya berdoa, "Ya Allah,, boleh minta satu yang seperti dia [sang imam]"

Hati dan bibirnya sedikit tersungging dengan permintaan yang sedikit konyol itu.


Ia berucap Aamiin. Dan ketika telapak tangannya sedikit demi sedikit menyibak wajahnya yang manis -karena masih tersisa sedikit senyuman disana, tiba tiba matanya bertabrakan dengan mata sang imam yang tengah berbalik badan hendak keluar mesjid setelah selesai menunaikan ba'da maghrib. Hijab di mesjid tersebut hanya berupa kayu setinggi orang duduk, maka dari itu sangat mungkin jamaah pria ketika berdiri dapat melihat jamaah perempuan. 

Seketika senyum simpulnya hilang, berganti dengan wajah pucat pasi. Meski hanya sepersekian detik mata mereka beradu, namun ketidaksengajaan itu mampu membuat debaran jantungnya sedemikian kencang. Kaget, senang, sekaligus merasa bersalah. Semuanya campur aduk menjadi satu dalam hati dan pikiran gadis itu. Sejurus kemudian ia tertunduk, sementara sang imam berlalu pergi meninggalkan mesjid. Momen tadi menyisakan kebingungan di hati gadis itu. Kemudian dengan limbung ia tunaikan shalat dua rakaat ba'da maghrib, kembali menangis. Tangis kali ini tak pecah seperti sebelumnya. Tak ada suara isak, yang ada hanya air mata yang tak henti mengalir. Tangis yang berasal dari rasa bersalah yang mendalam atas perasaan yang sempat hadir semenit yang lalu.


Adalah Hafizh, sang imam itu. Ketua panitia acara besar tahunan kampus dimana ia menjadi salah satu anggotanya. Sebelumnya mereka memang bertemu di rapat pleno persiapan acara tersebut. Kemampuannya mem-visualkan visi dan misi, serta kepiawaiannya dalam mengelola semua perangkat kepanitiaan membuat setiap anggota panitia berdecak kagum. Laki-laki maupun perempuan. Terlebih mahasiswi. Tak sedikit yang #caper ataupun #baper setiap kali digelar rapat panitia. Belum pernah didapati kesetiaan setiap anggota panitia untuk hadir dalam rapat seperti halnya kepanitiaan ini. Setidaknya itu fakta yang tak terbantah tentang kualitas kepemimpinan seorang Hafizh. 


Pesona itu pula yang singgah di hati Áfifah, gadis yang menjadi ma'mun tadi. Frekuensi bertemu yang terbilang sering, ditambah karisma Hafidz yang tiada seorang pun meragukannya membuat hatinya pun menyimpan rasa kagum. Rasa itu lalu tumbuh menjadi benih benih harapan. Namun, sebagai seorang kader organisasi da'wah yang memang mewakili organisasinya di kepanitiaan itu, ia tak mau terbawa emosi. Ia tak mau ikut-ikutan #baper seperti halnya mahasiswi-mahasiswi itu. Ia harus mampu menjaga diri juga harus malu pada doa yang tersemat dalam namanya. Áfifah, seorang muslimah yang íffah yaitu yang senantiasa menjaga diri dari hal-hal yang diharamkan. Maka, selalu dibunuhnya rasa itu. 


Beberapa alasan ia cari guna mendidik hatinya untuk tak lagi berharap pada sosok Hafizh. Salah satu alasan terkuatnya adalah karena ia bukanlah kader organisasi da'wah kampus seperti halnya dirinya. Ia menimbang dan mengukur kualitas seorang Hafizh dengan rekan satu organisasinya. Alasan ini sangat manjur untuk mereda rasa yang terkadang sulit untuk ia kendalikan. 


Tapi beberapa menit yang lalu, semua persepsi itu terbantah. Seorang Hafizh yang tak banyak ia temui di kegiatan organisasi da'wah kampus ternyata begitu fasih dalam melantunkan ayat-ayat Allah. Tak cuma fasih, namun suaranya pun mampu menggetarkan hati yang mendengarkannya. Áfifah merasa bersalah telah salah dalam menilai kualitas seorang Hafizh, dia telah underestimate terhadapnya. Ia mengadu pada Allah yang Maha Kuat, betapa dirinya maha lemah. Hanya dengan satu rasa ini saja, ia telah merasa sangat kerepotan untuk me-manage hati. Iapun tenggelam dalam istighfar-nya.


Mulai malam ini, hari-hari Áfifah kedepan tidak akan pernah sama lagi. Setidaknya sampai kepengurusan panitia itu berakhir. Biarlah ia titipkan sepotong hati yang memang bukan miliknya kepada Allah, sang pemilik semesta.